Cerbung: Riak di Puncak Bukit |
Bagian 6
“Kau yakin tempatnya cantik Jan?” tanya Rubiah lirih. “15
menit kita jalan, pohon sawit sajalah yang aku tengok,” ujarnya lirih.
“Yakin. Kalau dak
cantik dak mungkin banyak yang wisata
di sini,” balas Jani yang juga melirihkan suaranya.
Keduanya—Rubiah dan Jani—berada di barisan paling belakang, Larung
berada di depan mereka, yang tengah membawa tas ransel Jani yang berisi botol
minuman dan camilan untuk mereka berlima. Sepanjang perjalanan yang telah
mereka lewati, suasana hutan berubah menjadi hamparan pohon sawit, berbanding
jauh dengan kawasan resort tempat
penginapan mereka.
Larung memelankan langkah kakinya, hingga menyamai langkah
Rubiah dan Jani. “Sawit semua. Dak menarik rutenya!” gerutunya.
“Hust!” timpal
Rubiah dan Jani bersamaan, menyuruh lelaki itu untuk tidak berbicara
macam-macam.
“Tapi betul ‘kan apa yang aku kata!” lirih Larung. “Di bawah
sini saja pemandangannya sawit. Apalagi kalau sampai atas, pasti sawit-sawit
inilah yang kita tengok dari sana!” bisiknya.
“Kau bisa diam dak
larung! Nanti kalau kakak tu dengar
kau mengeluh, habislah kau!” ancam Rubiah dengan memolotkan matanya, agar teman
sebangkunya itu.
Larung menggerutu tanpa suara.
“Daklah ganas nian
kakak tu aku tengok,” sahut Jani
berbisik.
“Kalau dak ganas dak mungkin halang kita nak foto di atas. Terus tujuan daki ke
atas apa kalau bukan untuk foto,” timpal Larung kesal namun masih tak berani
bersuara lantang.
“Foto sajalah yang kau pikirkan!” cibir Rubiah.
“Kau dak pikirkan sebab kau sajalah yang boleh ambil
foto-video di sana,” kesal Larung. “Bisa portret saja idak, paling pencet-pencetlah. Cak
mana nak dapat foto bagus …,” ejek
Larung.
Rubiah menggetok kepala temannya itu. “Berisik nian kau ni. Masih untung ada yang boleh ambil foto, kalau dak sama sekali?!”
ooo
Mereka beristirahat untuk yang kedua kalinya di bawah
pohon-pohon sawit yang tingginya mencapai sekitar 3 meter lebih. Jani menegak
air yang diisi Rubiah dari keran sampai tandas setengah botol. Tadi katanya tak
mau minum air mentah, tapi kalau kondisi tengah kelelahan seperti ini, apapun
itu tak peduli teruji klinis atau tidak, langsung hantam.
“Di sekitar bukit-bukit ini, dak ada perkampungan ya kak? tanya Renda memandang hamparan sawit
di sekelilingnya.
“Dulu ada. Sekarang hilang,” jawab sang pemandu itu singkat.
“Hilang karena apa Kak?” sahut Larung penasaran.
“Oke semuanya, silakan berdiri. Kita sudah 5 menit
beristirahat. Mari lanjutkan perjalanan kembali,” ujar pemandu itu mengabaikan
pertanyaan Larung dan tentunya wajah Larung langsung berubah masam. “Kawasan
yang kejap lagi kita lewati sudah mulai memasuki kawasan puncak bukit. Ingat,
tidak boleh bawa barang elektronik apapun yang dapat mengambil foto atau video.
Yang boleh hanya kamu.” Lagi-lagi pemandu itu menunjuk Rubiah.
Semuanya mengangguk patuh begitu pun dengan Rubiah.
ooo
Wajah semua pewisata yang melakukan pendakian ini
berbinar-binar. Pemandangan kawasan menuju puncak bukit ini sangat-sangatlah berbeda
dengan rute perjalanan mereka yang dipenuhi hamparan sawit. Hutan alami, udara
segar, suhu dingin sejuk, beberapa monyet yang bergelantungan. Jani kadangkala
menjerit terkejut ketika monyet-monyet itu berpindah posisi menuju dahan pohon
yang lain.
“Monyet di sini jinak,” ucap sang pemandu.
Pohon-pohon besar juga masih banyak dengan batang mencapai
ukuran mereka berlima karena saking besarnya. Ada beberapa pohon rambutan yang
tengah berbuah. “Kak, boleh ambil buah rambutan tu dak?” tanya salah satu pewisata lain.
“Maaf, tidak boleh. Itu untuk makanan hewan-hewan di sini.”
Mereka mengangguk patuh.
“Kira-kira berapa menit lagi sampai, Kak?” tanya Juria
dengan raut letih namun matanya berbinar-binar kagum melihat pemandangan indah
hutan alami.
“Dua menit lagi kita sampai di padepokan. Nanti kalian bebas
berkeliling tapi ingat tidak boleh memfoto-video apapun kecuali dia.” Rubiah
kembali ditunjuk. Ia sedikit gusar melihat tatapan iri dari pewisata lain dan juga
teman-temannnya.
Padepokan yang dimaksud pemandu itu ialah gubuk bambu yang
luas, bahkan ketika ditempati mereka bersembilan termasuk sang pemandu masih
sangat lega gubuk itu. Rubiah hanya sempat duduk semenit di sana sebelum ditarik
Jani, Juria dan Renda ke salah satu bawah pohon besar dengan akar-akar tanaman
inang yang menjuntai ke bawah dengan tujuan untuk memfoto mereka.
“Yang cantik Bi,” ujar Jani.
Rubiah hanya berdeham menanggapinya. Ia mulai memotret
ketiga temannya itu dengan berusaha mengambil angle yang bagus. Rubiah sangat tak berbakat dalam hal pemotretan,
seharusnya Larung saja yang mendapatkan tugas ini. “Terus aku, siapa yang
memfotokan?” tanyanya.
“Foto sendirilah. Kan kau saja yang boleh memfoto-video,”
ujar Renda ikut prihatin.
Jani terkikik, “Kasihannya ….”
Rubiah menghela napasnya panjang.
Larung mendekati keempat temannya, melihat bagaimana Rubiah
memotret dengan kameranya itu. “Kalau nak
fokus, lensanya diputar-putar!”
“Susah!” sambar Rubiah.
Larung mendengkus.
“Kata kau tadi, pastilah di atas nanti pemandangannya sawit.
Coba tengok sekarang, pohon-pohon hutan kan yang nampak. Cantik kan?!” Jani
menodong Larung dengan prediksi asal yang dibuat lelaki itu.
“Iyalah. Prediksiku salah,” sahut Larung mengakui.
ooo
Bersambung ....
(Bagian 1)
(Bagian 2)
(Bagian 3)
(Bagian 4)
(Bagian 5)