Cerbung: Riak di Puncak Bukit "Bagian 5"

Feffi

Cerbung: Riak di Puncak Bukit

 Bagian 5

Rubiah bangun dari tidurnya. Dilihatnya jam analog di nakas antara ranjangnya dengan ranjang Jani. Pukul 05.15. Ia meregangkan tubuhnya lalu berjalan gontai menuju kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok giginya. Setelahnya rutinitas mencuci mukanya selesai ia keluar kamar, menengok keadaan resort di pagi buta seperti ini.

Udara di sini memanglah sejuk, Rubiah sedikit menggigil menghirupnya. Benar kata kakak Jani, pemandangan di sini memang dapat membayar letih selama perjalanan.

Berhubung posisi kamar mereka berada di lantai dua, dari balkon tempat Rubiah berdiri, gadis itu bisa menengok kolam renang di bawahnya. Larung di sana. Dengan memakai kaos berlengan pendek sekaligus celana yang juga pendek, lelaki itu bersiap-siap hendak menceburkan dirinya ke kolam.

Dak dingin, Rung?” tanya Rubiah dari atas.

Larung mendongak, mencari sumber suara Rubiah, karena ia tahu betul suara teman sebangkunya itu. Larung menyipitkan matanya memfokuskan melihat Rubiah berada di balkon lantai dua, sebab tak memakai kacamata sangatlah menjadi permasalahannya. “Turunlah. Hangat airnya,” suruh Larung.

“Kau saja belum sentuh airnya. Cak mana tahu kondisi airnya hangat?” balas Rubiah meragukan ucapan Larung. Keadaan yang masih sepi seperti ini tak perlu membuat mereka berucap lantang, berucap lirih pun terdengar dari jarak yang memisahkan mereka.

Larung menjongkokkan dirinya, tangannya terulur menyentuh air, lalu mendongak menatap Rubiah lagi dengan tatapan sengit. Ia mendengkus sebelum berucap, “Hangat!”

“Oke … aku turun,” jawab Rubiah terkikik melihat kekesalan Larung di bawah sana.

ooo

“Tas kau yang satu buat tempat bawa minum sama makanan ya Jan,” ujar RUbiah meminta persetujuan Jani.

“Terus baju-baju aku letak mana?”

“Kan kau bawa tas dua. Letak di tas satunya lah atau dalam nakas itu. Kita daki kalau dak bawa minum sama cemilan, kau mau dehidrasi di perjalanan?”

“Iyalah, yalah.” Jani mulai beranjak dari sesi rebahannya dan mulai membongkar tasnya, sedangkan beranjak ke kamar mandi, mengisi botol-botol minumnya kemarin dengan air melalui keran wastafel.

“Kau serius nak bawa air keran tu? Air mentah Biah!” ujar Jani syok dengan apa yang temannya lakukan itu.

“Segar air ini, serius. Kata kakak yang tadi malam juga bisa diminum airnya,” sahut Rubiah dengan suaranya yang menggema karena masih berada di dalam kamar mandi.

Jani masih bergidik membayangkan air mentah itu akan masuk ke tubuhnya. “Beli air kemasan saja lah Bi. Kita dak tahu air itu ada kuman atau ada apanya kan?”

Rubiah keluar dari kamar mandi dengan kedua tangannya memegang dua botol dan satu  botol lagi dipeluknya. “Kau kira air kemasan yang biasanya kau minum tu dak air mentah?”  Ia mengambil tas Jani dari hadapan temannya itu yang kini sibuk menyusun baju-baju yang tadi dikeluarkan dari tas.

“Tapi kan dak ada kumannya, setidaknya air itu sudah steril.”

“Ini malah langsung dari sumbernya. Lebih steril ini,” jawab Rubiah tak menerima penolakan dari temannya itu.

ooo

Rubiah, Jani, Larung, Juria dan Renda berbaris beserta tiga orang pewisata lainnya menghadap sang pemandu yang akan memandu mereka menuju ke puncak bukit.

“Semuanya sudah siap?” tanya sang pemandu.

“Sudah,” jawab mereka kompak.

“Pendakian kita hanya satu setengah jam, dua jam di atas sana untuk menikmati pemandangan. Istirahat setiap tiga puluh menit berjalan.  Dan ingat jangan foto, video apapun selama kalian berada di puncak bukit. Tidak boleh bertanya alasan, tidak boleh membantah. Ini peraturan!” ucap sang pemandu telak. “Tapi … kecuali kamu!” tunjuknya ke Rubiah.

Rubiah menunjuk dirinya sendiri. “Aku Kak?” Ia terkejut.

“Iya. Kamu boleh bawa kamera untuk memfoto pemandangan di sana, sekaligus memfoto teman-teman yang lain,” ujar sang pemandu seraya meregangkan tangannya. “Pemanasan sebentar sebelum mulai berjalan!”

Larung menyerahkan kamera yang sengaja dibawanya dari rumah kepada Rubiah. “Aneh nian. Aku niat ke sini nak cari objek foto, malah dak boleh foto,” bisiknya kesal.

Rubiah mengedikkan bahu seraya mengalungkan kamera yang diberikan Larung itu.

Sang pemandu mendekat ke keduanya. “Regangkan tangan,” suruhnya.

Larung dan Rubiah cepat-cepat merenggangkan tangan. 

Lalu ketika pemandu itu hendak kembali ke depan ia mengambil sempat membisikkan sesuatu ke Rubiah. “Foto-foto itu akan menjawab semua pikiranmu ….”

ooo

Bersambung ....

(Bagian 1)

(Bagian 2)

(Bagian 3)

(Bagian 4)

Posting Komentar

1Komentar

  1. Kocak bener si Rubiah
    tp dia bener juga sih
    aneh banget cuma Rubiah yg boleh..
    hmmm

    BalasHapus
Posting Komentar