Cerbung: Riak di Puncak Bukit "Bagian 4"

Feffi

 

Cerbung: Riak di Puncak Bukit

Bagian 4

Sudah tiga setengah jam perjalanan mereka lewati. Setelah istirahat sebentar di warung kopi yang ada di salah satu perkampungan, mereka kembali melanjutkan perjalanan.

Setengah jam sudah berlalu dan mobil yang mereka tumpangi kini mulai memasuki kawasan belasan pabrik seperti cerita dari om supir. Tembok bata menjulang tinggi menutupi kawasan pabrik dari luar, yang ukurannya mencapai dua kali tinggi manusia pada umumnya.

“Ish … panasnya,” keluh Jaria.

“Iya, panas nian,” balas Renda menyetujui keluhan Jaria. Ia mulai mengipas-ipaskan tangannya ke arah mukanya.

Mereka di dalam mobil gusar, sibuk sendiri mencari sesuatu yang sekiranya dapat digunakan menjadi kipas.

Rubiah tengah mengembus-embuskan napasnya ke atas—ke rambutnya bagian depan—agar tidak terasa teramat panas. Ia sedari tadi menengok jendela yang ada di sebelahnya, mamandang tembok-tembok tinggi itu yang bentuknya serupa, jarak beberapa meter antar per tembok, ada lampu kecil yang menempel, dengan cahayanya yang remang.

Rubiah menghela napas, keringatnya semakin banyak bercucuran. Lalu ia memejamkan mata sebentar seraya mengusap keringat di pelipisnya. Setelah membuka mata, Rubiah terkejut dengan apa yang dilihatnya. “Di sini masih ada orang adat ya Jan?” tanyanya terheran-heran karena baru mengetahui di daerahnya masih ada orang-orang adat dan ia juga tersenyum simpul, kagum dengan apa yang dilihatnya.

“Orang adat?” Jani yang malah bertanya-tanya. “Di mana?”

“Itu di sana …,” tunjuk Rubiah. “Rumah mereka masih dari ranting-ranting pohon cak itu ya? Atapnya pun terlihat masih dari daun kering.  Banyak nian lentera yang mereka pasang.”

Jani menajamkan penglihatannya, menatap tempat yang ditunjuk temannya itu yang samar-samar terlihat. “Orang adat? Rumah? Ucap apa kau ni? Cuma dinding lah yang ada. Apa yang kau tengok itu?”

Rubiah mengedip-edipkan matanya, mencoba memfokuskan penglihatannya ke tempat yang dilihatnya tadi. “Hah? Pergi ke mana orang-orangnya tu? Tadi ada di situ ramai mereka ada rumahnya juga. Banyak lentera di sana.”

“Sekarang yang kau tengok ada orangnya tu?”

Rubiah menggeleng. “Tapi … tadi ada,” lirihnya masih tak percaya dengan yang dilihatnya sekarang hanyalah tembok-tembok bata yang kian menjauh.

“Kenapa kalian?” Renda menoleh ke belakang.  

“Rubiah mengigau lagi Kak, katanya ada orang adat di sana itu.” Jani menunjuk tembok yang sudah tak terlihat lagi. “Takut aku Bi kalau kau merancau cak kelas matematika waktu itu,” ucapnya blak-blakan.

“Sumpah, dak merancau aku. Tadi memang ada di sana,” balas Rubiah lemas.

“Rancau apa lagi kau Bi?” sahut Larung dari depan sana dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Nampak orang adat,” jawab Jani.

“Oh dulu katanya banyak orang adat di sini, sekitar tiga puluh tahun lalu, kalian belum lahir mungkin, dulu om saja masih kecil dengar ceritanya dari orang.”

“Belum lahir om,” sahut Renda.

“Sudah lama nian cerita tu, sampai kini dak pernah dengar lagi cerita tentang orang adat itu, menghilang dari kawasan daerah kita ini …,” jelas Om supir.

“Yakin nian aku dak merancau, benar aku lihat orang adat itu, mereka masih pakai baju-baju adat khas ….”

“Ah … bisa jadi juga mungkin orang adat itu balik lagi ke daerah ini.”

“Tapi Rubiah tadi nampaknya cuma sekilas Om, ditengok lagi sudah dak ada. Temboklah yang ada,” timpal Jani.

ooo

6 jam perjalanan akhirnya usai, kini mereka telah sampai di depan resort. Dingin sekali udaranya di sini, berbanding terbalik dengan kawasan-kawasan di pabrik tadi.

Untuk kawasan terpencil, resort ini cukup terbilang ramai, ada tiga mobil beserta dengan mobil mereka, beberapa orang hilir mudik di sana termasuk para pelayan yang memakai baju seragam yang jumlahnya tak mencapai  10 orang.

Om supir melipir ke padepokan di sebelah halaman depan resort, mengobrol bersama dengan supir lain di sana dan membiarkan kelima penumpang itu yang sibuk dengan tas-tasnya.

Rubiah, Jani, Larung, Juria, dan Renda membuntuti pelayan yang sedang menunjukkan jalan menuju kamar mereka. Kamar Rubiah dan Jani bersebelahan dengan kamar Juria dan Renda, sedangkan kamar Larung berseberangan dengan kamar mereka.

Jani langsung melemparkan tasnya beserta tubuhnya ke kasur, sedangkan Rubiah setelah menyandarkan tasnya di tepian ranjang tempat tidur, ia langsung berlalu ke toilet. Mencuci wajahnya lalu mengelapnya kasar dengan kaus yang dipakainya. Ia masih rancu dengan pikiran sendiri, yang dilihatnya tadi memanglah nyata! Iya yakin bukan hanya ilusi semata!

ooo

Bersambung ....

(Bagian 1)

(Bagian 2)

(Bagian 3)

(Bagian 5)


Posting Komentar

5Komentar

  1. Kayaknya si Rubiah ini bs liat sesuatu yg g bs diliat orang lain ya??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo dibaca sampai bab ending kak, biar tahu ada apa dengan Rubiah💃🏻

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Rubiah, Juria, ini nama cewek kan? Kalau Jani?

    BalasHapus
Posting Komentar