Cerbung: Riak di Puncak Bukit |
Bagian 1
Dengan kondisi kepala menelungkup ke meja, tak perlu ditanya
mata pelajaran apa yang tengah Rubiah ikuti. Mendengarkan penjelasan guru saja
ia sudah pening bukan kepalang, apalagi jika ditambah melihat rumus-rumus yang
berjejer di papan tulis, sudah ia pastikan tak sadarkan diri.
Rubiah memiringkan posisi kepalanya hingga menghadap ke
teman sebangkunya yang hikmat mendengarkan penjelasan sambil sesekali
mengangguk-anggukkan kepala. “Rung,” lirih Rubiah.
“Hm …,” balas temannya itu dengan berdeham. Tak kalah lirih.
“Larung, Rung …,” panggil Rubiah lagi, namun tak teramat lirih
seperti tadi. Panggilannya lebih terdengar memaksa temannya itu agar menatapnya balik.
Larung menghela napas, lalu menoleh menatap Rubiah. “Apa?”
tanyanya teramat pelan.
“Lama lagi istirahat?”
Larung mengangkat tangannya setinggi dadanya, menengok jam
di pergelangan kiri tangannya. “25 menit lagi,” jawabnya seraya memperbaiki
letak kacamatanya.
“Oke … aku mau tidur kejap ya. Kalau istirahat bangunkan,”
ucap Rubiah dengan cengiran polosnya, sedangkan Larung membalasnya dengan putaran
mata.
ooo
“Biah! Rubiah! Bangun! Sampai hati kamu tertidur di kelas saya!” murka bu guru
membangunkan Rubiah yang tertidur di jam pelajarannya.
Rubiah terkesiap. Ia menegakkan kepala menatap kondisi di
hadapannya dengan linglung. Lalu napasnya menjadi tersengal-sengal, ia melirik pelan ke arah gurunya dengan raut
penuh ketakutan dan setelahnya menjerit kuat. “Api! Api! Api!” teriaknya panik.
“Orang-orang terbakar! Tolong air! Bantu padamkan, tolong!” histerisnya.
“Apa yang kamu ucap Rubiah? Bangun! Jangan mengigau!” Bu
guru menggoncang-goncangkan bahu Rubiah.
“Api … api!” Rubiah menangis. “Api … orang-orang terbakar
….”
Bu guru mengeryit, begitupula Larung dan anak-anak kelas
lainnya, menatap Rubiah heran. “Sakit kamu?”
tanya Bu guru seraya menempelkan tangannya ke kening Rubiah. “Larung bawa
Rubiah ke UKS, sedikit panas badannya.”
Rubiah memegang kepalanya dengan kedua tangan lalu meremas
rambutnya dan sedikit menjambaknya, setelahnya ia menunduk. “Api … api …,” rancaunya kembali namun tak sehisteris tadi.
“Cepat bawa dia Larung!” titah bu guru gusar.
Larung mengangguk, ia langsung cepat mendekat ke Rubiah dan
menuntunnya pelan seraya membuntuti gurunya yang berjalan duluan ke unit kesehatan sekolah.
Di tengah perjalanan, Larung mengambil sempat membisikkan
sesuatu ke Rubiah, menanyakan apa yang terjadi dengan teman sebangkunya itu.
“Kenapa pula kau Bi? 25 menit yang lalu sehatlah aku tengok. Kau kata nak tidur 'kan? Kini panas pula badanmu.”
“Api Rung … api …,” ucap Rubiah kembali merancau dan
sesekali terisak.
“Mana api? Dak
ada,” bantah Larung. “Apa karma yang kau tengok sebab tertidur
di jam pelajaran? Api neraka yang kau tengok Bi?” tanyanya sangsi.
Rubiah tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. “Apa yang kau
sebut, Rung? Lawak nian,” ujarnya
seraya mengusap jejak air mata di mukanya.
Larung terperangah. Beberapa detik mencerna apa yang terjadi,
ia langsung melepaskan rangkulannya dan menjauhi Rubiah karena perilaku aneh
teman sebangkunya itu.
“Kenapa pula kau ini?” tanya Rubiah heran melihat tingkah
kawannya.
“Aku yang harusnya tanya itu! Lakon apa yang kau mainkan Bi?”
sahut Larung dengan napasnya yang menjadi tersengal-sengal, menahan emosi.
“Lakon?” tanya Rubiah kebingungan.
“Dak usah
pura-pura!” Tanpa sadar Larung menjadi emosi.
“Lakon apa?” Rubiah masih tampak kebingungan. Lalu tiba-tiba
di hidungnya keluar cairan merah kental. “Apa ini?” Ia mengusap hidungnya
kasar, setelah sadar bahwa yang keluar dari hidungnya itu darah, ia langsung
cepat mendongakkan kepalanya. Beberapa detik setelahnya ia jatuhkan diri ke
lantai; hilang kesadaran.
“Rubiah! Biah! Biah!” panik Larung.
ooo
(Bagian 2)
(Bagian 3)
(Bagian 4)
(Bagian 5)
Eh??
BalasHapusWait..
yg ngelawak itu Rubiah, kenapa pula yg dimarahin Larung??
Wah bisa ditanya langsung ke Rubiahnya kak ada masalah apa🙈
Hapus