Cerbung: Riak di Puncak Bukit "Bagian 7"

Feffi

 

Cerbung: Riak di Puncak Bukit

Bagian 7

Selepas turun dari bukit hingga kini mereka hendak pulang, kamera Larung tak mau dihidupkan. Bahkan setelah berjam-jam Larung mengisi daya baterainya, masih saja tetap tak mau menyala.

Kelimanya kecewa begitu pula dengan pewisata lain yang ikut pendakian kemarin, sebab tak dapat melihat foto-foto mereka sewaktu di atas puncak. Niat hati mendaki hendak mendapat foto untuk di unggah ke laman media sosial, malah kameranya tak dapat dibuka.

Di hari kedua mereka di sana, Juria dan Renda pergi ke satu-satunya toko oleh-oleh di sana, membeli kerajinan tangan buatan penduduk lokal yang jumlahnya hanya segelintir orang itu.  Kedua gadis itu membeli sebuah keranjang rotan, selimut rajut dari kain khas buatan orang sana dan beberapa gelang etnik yang berwarna warna-warni yang katanya terbuat dari biji sawit.

Sedangkan apa yang dilakukan Rubiah, Jani, dan Larung sedang menikmati suasana resort sambil berenang dan menyantap sosis bakar dan jus lemon yang disediakan pelayan di sana.

Hari ini, mereka berlima harus kembali ke rumah. Sesi liburan mereka sudah habis. Kelimanya mulai memasuki mobil. Posisi tempat duduk masih sama seperti ketika berangkat, hanya Rubiah dan Jani yang berpindah posisi.

Walaupun hasil foto dari kamera Larung masih tak dapat dibuka, namun keadaan hati dan raut wajah mereka tak semurung ketika beberapa jam turun dari bukit waktu itu.  Suasana alam di sana, makanan yang disajikan, resort yang cantik dengan fasilitasnya memadai sangat cukup untuk membuat mereka tak berlarut-larut dalam kesedihan. Pun sampai rumah nanti, Larung juga berencana memperbaiki kameranya. 

“Beberapa menit lagi kita masuk ke kawasan pabrik, semua kaca ditutup ya. Biar asap dak masuk ke mobil,” ujar Om supir.  

“Siap Om.”

“Sudah mulai mendung Om,” sahut Jani menatap asap-asap hitam yang mulai terlihat tebal.

“Di depan lagi semakin gelap,” balas Om supir seraya menghidupkan lampu mobilnya.

Rubiah memandang lurus ke jendela di sebelahnya, ke arah di mana ia melihat orang-orang adat waktu itu, bahkan untuk mengedip saja ia tahan agar tak ada satupun terlewat dari penglihatannya.  

“Tengok apa sih Bi?” tanya Jani selepas meneguk air yang dibawanya dari resort, yang waktu itu katanya tak mau minum karena tak steril, tapi kini malah membawanya pulang hingga tiga botol penuh.

Nak nengok orang-orang adat yang aku nampak kemarin itu,” jawabnya tak mengalihkan pemandangannya dari jendela mobil.

Jani ber-oh-panjang. “Kalau kau nampak lagi, panggil aku ya ….”

Rubiah hanya bedeham menanggapi perkataan Jani.

Suasananya mulai menggelap. Seluruh yang ada di mobil senyap, hanyut melihat asap hitam yang membumbung ke seluruh penjuru di kawasan ini. Mata Rubiah terus jeli melihat tembok-tembok bata yang menjulang tinggi mencari keberadaan orang-orang adat.

Namun, hingga tembok terakhir yang mereka lewati, tak ada satupun yang dicarinya. Hanyalah tembok tinggi yang ada. Mungkin benar apa yang dikatakan Jani, ia memang merancau waktu itu.

“Ada nampak lagi?” tanya Jani memasang raut wajah penasaran.

Rubiah menggeleng.

“Sudahlah dak usah dipikirkan. Kau mengantuk saja mungkin waktu itu.”  

“Iya …,” balas Rubiah dengan tersenyum tipis, ia benar kecewa jika apa yang ia lihat tempo hari hanyalah sebuah ilusi atau mimpi.

ooo

Setelah 6 jam perjalanan, akhirnya mereka tiba di rumah Jani dan Juria. Ibu Jani menyambut anaknya dan juga teman-teman anaknya itu dengan menyiapkan seteko minuman dingin dan beberapa makanan ringan untuk dimakan dan beristirahat  terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah masing-masing.

Sedangkan supir langsung izin untuk pergi kembali dan memohon maaf karena tak sempat untuk mampir. Kelimanya duduk di sofa ruang tamu rumah Jani dan Juria. Larung langsung merebahkan tubuhnya ke sofa panjang selepas kepergian Ibu Jani ke belakang. “Letih nian aku,” keluhnya.

Renda mendengkus melihat perilaku sepupunya itu. “Kau coba lagi kamera kau itu Rung! Masa iya nian kita dak ada foto dari sana?”

Larung menghela napas, dengan malas ia menegakkan badannya, mengambil tas selempang dan mengecek kembali kameranya itu. “Berharap nian sama foto tu, Biah fotokan pun juga dak bagus. Asal jepert,” ujarnya.

“Masih untung aku dibolehkan buat foto ya Rung?! Iri nian kau ni dak dibolehkan bawa kamera di sana!” tuding Rubiah seraya melempari Larung dengan cemilan yang disediakan ibu Jani. Namun sayangnya nasib baik malah berpihak kepada lelaki itu, Larung berhasil menerima lemparan Rubiah masuk ke dalam mulutnya.

Rubiah merutuki Larung dalam hati seraya memakan cemilan yang masih saja mereka anggurkan, hanya teko minuman sedari tadi yang diserbu hingga kini hanya tinggal seperempatnya.

“Bisa-bisa!” girang Larung senang karena kameranya yang berhasil hidup.

Keempat gadis itu langsung mendekat ke Larung dengan menjerit heboh karena gembira.

Larung menekan-nekan tombol di kameranya, menggeser foto-foto yang berhasil di foto Rubiah. “Benar kau foto 'kan kemarin itu Bi?” tanyanya menelisik menatap Rubiah.

“Iya ….”

“Kau tekan yang ini kan?” tanya Larung lagi dengan menunjuk salah satu tombol.

“Iya!”

“Terus ke mana fotonya? Gelap semua. Kau yakin benar kau foto kemarin itu?” Larung masih meragukan jawaban Rubiah.

“Benar!” tekan Rubiah. “Selepas aku foto pun aku tengok hasilnya. Ada fotonya itu!”

“Mungkin sebab mati kemarin itu dak Rung, makanya fotonya jadi hitam semua?” sahut Juria menengahi kecurigaan Larung terhadap Rubiah.

“Coba geser-geser terus Rung, tengok yang lain. Mana tahu ada yang masih bagus,” saran Renda.

Larung kembali menekan tombol di kameranya. Namun semua foto tak ada yang tersisa, menjadi layar hitam semua isinya. Hingga sampai di paling akhir ada sebuah video. “Aku dak ingat kapan ambil video. Kau ada rekam video ya Bi?” tanyanya menatap Rubiah.

Idak,” jawab Rubiah dengan menggeleng.

“Putar saja Rung!” suruh Renda.

Larung menekan tombol untuk memulai video itu tayang, sedangkan yang lain merapat kepadanya agar jelas melihat isi dari video itu.

Di video itu nampak sekumpulan orang-orang yang seperti memakai baju khas jaman-jaman dahulu, mereka tinggal di hutan belantara dengan rumah-rumah yang terbuat dari ranting-ranting pohon dan dedaunan kering yang mengatapinya.

“Macam orang adat yang aku nampak waktu di kawasan pabrik!” ujar Rubiah.

Yang lain langsung menatap Rubiah, meminta kebenaran apa yang dikatakannya.

“Lanjut nonton ini dulu,” sahut Rubiah yang matanya tak lepas dari kamera Larung.

Orang-orang di video itu tampak pindah dari hutan yang mereka tempati itu, terlihat beberapa orang berpakaian rapi menemui mereka, seperti melakukan negoisasi, selepas itu menancapkan sebalok papan yang tertulis, MILIK PERUSAHAAN.

Tubuh kelimanya meremang menonton video tanpa suara itu. Orang-orang itu pindah dari tempat mereka terdahulu, beberapa anak kecil terlihat  menangis meninggalkan tempat tinggal lama mereka. Setelahnya mereka tampak menaiki dataran yang lebih menjulang tinggi, hingga tubuh mereka terlihat condong melewati jalan itu. Beberapa detik video berjalan memperlihatkan hutan itu, kelimanya menyadari sesuatu.

“Puncak Bukit Alas!” Mereka saling menengok satu sama lain.

Tayangan video berpindah ke hutan yang pohon-pohonnya sudah habis dibabati dan dirobohkan, lalu tampak beberapa orang membakarnya. Api pembakaran terlihat terus berjalan bahkan bukan hanya pohon-pohon roboh saja, namun juga turut membakar pohon-pohon yang masih utuh berdiri. Hingga api itu sampai ke kawasan orang-orang itu yang kini berada di Puncak Bukit Alas dan langsung melenyapkan mereka semua. Video selesai.

Kelimanya menangis. Rubiah yang paling terisak, mereka tak tahu kenapa memjadi se-emosional ini, lalu tayangan video berganti dengan foto mereka berlima sewaktu di Puncak Bukit Alas. Padahal mereka tak ada mengambil foto bersama di sana. Pemandangan di foto itu pun tak tampak seperti hutan alami yang mereka lihat kemarin, yang ada hanyalah rimbunnya pohon sawit yang mengelilingi. Entah ilusi apa yang mempermainkan mereka sewaktu di sana.

Tamat

Posting Komentar

1Komentar

Posting Komentar