Cerbung: Riak di Puncak Bukit "Bagian 3"

Feffi

 

Cerbung: Riak di Puncak Bukit

Bagian 3

Rubiah mengikuti ajakan Jani pergi berlibur. Syukurlah mamaknya memberikan izin. Mereka berangkat sore ini. Namun sebelumnya, mereka berkumpul terlebih dahulu di rumah Jani. Larung dan sepupunya, Renda sudah datang.

Renda membawa satu tas ransel besar yang digendongnya serta menenteng satu tas selempang kecil. Jani dan kakaknya, Juria kompak memakai baju tidur panjang, kata mereka agar lebih nyaman selama di perjalanan. Jani sendiri membawa dua tas ransel besar, sedangkan kakaknya hanya membawa satu tas ransel dan tas selempang, seperti Renda.

Rubiah hanya membawa satu tas ransel besar, tanpa membawa tas selempang atau yang lain. Sedangkan Larung yang paling banyak bawaannya di antara mereka berlima. Satu koper kecil, tas ransel yang digendongnya dan satu tas selempang kecil.

“Kau nak mudik Rung?” tanya Rubiah serta merta. “Banyak nian yang kau bawa!”

“Sibuk nian kau ni. Banyak barang yang kubawa yang nantinya berguna juga buat kalian,” dengkusnya.

“Iyalah tu,” balas Rubiah dengan memutarkan kedua bola matanya.

Semua sudah masuk ke mobil. Larung duduk di depan menemani supir, Renda dan Juria duduk di tengah, sedangkan Rubiah dan Jani duduk di kursi paling belakang.

Setelah meletakkan beberapa jajanan dan botol air minum di dekatnya yang ia ambil dari tas ranselnya, Rubiah mulai merebahkan punggungnya ke sandaran kursi. “Berapa jam perjalanan sampai sana, Jan?” tanyanya kepada Jani yang masih sibuk dengan salah satu ranselnya.

Dak tau. Coba tanya ke kak Ria,” saran Jani.

Rubiah menegakkan badannya. “Kak Ria … Kak,” ujarnya memanggil kakak temannya itu.

“Apa?” sahut Juria sambil menoleh ke belakang.

“Berapa jam sampai sana, Kak?”

“5 jam-an mungkin, tapi entah juga,” jawab Juria. “Om … Om … berapa jam perjalanan biasanya sampai sana Om?” tanyanya ke supir.

“5-6 jam-an lah Dek. Tergantung kondisi juga. Kalau nanti hujan dak bisalah laju bawa mobilnya kan?”

“Iya Om … tapi bagus ‘kan Om jalannya tu?”

“Adalah beberapa yang buruk.”

“Oke … Om.”

Rubiah kembali menyandarkan punggungnya. Perjalanan mereka masih sangat jauh, sebaiknya ia memanfaatkan waktu untuk tidur.

ooo

Rubiah terbangun, ia melirik ke Jani dan sedikit menegakkan kepala melihat kondisi yang duduk di depan. Hanya Larung dan om supir yang masih terjaga, lainnya tertidur. Ia menyipitkan matanya melihat jam digital yang terpasang di dasbor mobil. Sekarang sudah jam 5 sore lebih, artinya ia sudah melewati hampir 2 jam perjalanan.

Rubiah termenung menatap pemandangan di sepanjang jalan yang terlewati dari jendela mobil di sampingnya, pemandangan yang ia lihat hanyalah deretan pohon sawit. Ia menegakkan punggungnya. “Ini sepanjang perjalanan pohon sawit semua ya isinya Om?” tanyanya ke supir.

“Iya … hampir rata-rata sawit, paling beberapa kilometer lagi baru ada perkampungan. Banyak sebenarnya kampung nanti, tapi antar kampung jauh jaraknya.”

“Pohon-pohon sawit ini, punya warga semuanya lah Om?” tanya Larung ikut penasaran.

“Om ada kawan di sini, katanya beberapa milik warga, tapi banyaknya punya pengusaha sama penguasa.”

“Penguasa?” ucap Rubiah dan Larung berbarengan.

“Iya … politisi setempat,” jawabnya.  “ Sejam lagi lah, nanti kita sampai di kawasan pabrik sawit. Di sana nanti berjejer tu pabrik-pabrik sawit. Ada belasan kira-kira.”

Wuih … banyak nian.” Rubiah terkejut. “Polusi di sana apa dak hitam tu om, pabrik berdekatan kayak tu? Ada belasan pula.”

“Bukan cuma polusi yang hitam, air-air sungai di dekat sana pun merah warnanya.”

“Di dekat pabrik tu, ada perkampungannya Om?” tanya Larung.

Idak kayaknya, tapi dak tahu juga Om. Di sana itu kalau hari kerja, senin sampai jumat tu pekatlah polusinya. Nanti kita tengok di sana. Tapi kalau malam, sayangnya dak nampak ….”

Tu yang kerja di sana apa dak mabuk sama polusi di sana Om?” Renda tiba-tiba menyahut, ternyata ia terbangun dari tidurnya karena pecakapan Rubiah, Larung dan om supir.

“Kalau dalam ruangan pastinyalah polusi dak masuk. Tapi entah juga kenapa yang kerja di sana bisa tahan. Nanti kalau dah lewat sampai sana, panas nian udaranya, kalau dah lewat tu dingin lah lagi.”

“Tapi resort tujuan kita ni dak panas kan Om? Di sana dak ada polusi kan Om?” Larung cemas.

“Beruntungnya idak. Udara di sana tu bersih nian. Beda sama kawasan pabrik.”

“Kenapa pabrik sawitnya di buat jauh nian om? Di pelosok nian,” tanya Rubiah.

“Itu Om yang dak tahu.”

ooo

Bersambung ....

(Bagian 1)

(Bagian 2)

(Bagian 4

(Bagian 5

Posting Komentar

1Komentar

Posting Komentar