Postingan kali ini merupakan tugas opini cerpen, tantangan minggu keempat dari ODOP. Langsung saja, saya akan memulai opini singkat dari saya tentang cerpen ini. Namun sebelumnya saya meminta maaf karena pemahaman saya belum begitu dalam mengenai cerpen ini. Jadi tolong maklumi jika banyak kesalahan nantinya.
Cerpen: Setelah Tertua Pergi |
Judul: Setelah Tetua Pergi
Penulis: Achmad Ikhtiar
Sebelum membaca opini dari saya ada baiknya membaca cerpennya terlebih dahulu. Sehingga tidak ter-spoiler-kan. Cerpennya bisa dibaca di sini ya ....
Opini:
Cerpen ini berlatarkan di sebuah rumah yang diisi sekian banyak orang sehingga digambarkan ramai dan penuh. Di tengah-tengah ruangan ini, terdapat lelaki berbadan tambun dengan berwajah jenaka yang di sekelilingnya dikelilingi meja-meja. Para tetua yang diceritakan di cerpen digambarkan sebagai orang yang sangat diagungkan, setiap titah perintahnya dituruti oleh orang-orang yang ada di sana.
Awal membaca cerpen ini saya kira ini cerpen biasa dan dialog mereka pun juga dialog percakapan biasa. Lalu di mulai dengan salah satu orang menawari si Tambun Berwajah Jenaka itu cerutu, namun ia menolaknya. Mulanya saya mengira bahwa mungkin si Tambun itu menolak tawaran karena tidak berselera untuk sekadar menikmati cerutu ketika keadaan sedang rumit dan menyudutkannya seperti ini. Ataukah ia baru saja bertaubat karena baru tersadar bahaya dari sesuatu yang kadar nikotinnya tinggi itu? Apakah keadaan itu yang memaksanya bertaubat?
Lalu saya kembali membaca dengan kepala penuh menebak-nebak dan menerka-nerka seperti apa jalan cerita cerpen ini dan apa poinnya? Ketika sampai di dialog salah satu tetua yang mengatakan di buku nubuat yang sudah mereka tulis, waktunya hampir datang. Dari situ saya semakin menerka dan mencoba menghubungkannya dengan poin-poin yang berseliweran di kepala saya. Semakin saya membacanya hingga ke bawah, saya tambah yakin dengan poin-poin di kepala saya itu dan merasa sedikit paham dengan poin dari cerpen ini (mungkin?).
Waktunya hampir datang, yaitu ambang kehancuran atau kiamat sudah dekat.
Kemudian ketika tetua menyuruh pelayan mendekat untuk membagikan anggur dan pelayan itu patuh, membagikannya hingga penuh bahkan sampai tumpah, namun tak seorang pun yang memberhentikannya. Dari sana saya mendapat gambaran tentang alam dan lingkungan yang membagikan kekayaannya kepada manusia bahkan sampai berlebih, namun tidak ada satupun yang merasa cukup dan masih saja terus mengeksploitasinya secara besar-besaran. Sedangkan manusia lainnya tak ada yang berani menghentikan ataupun sekadar mengingatkan.
“Kita semua tahu, tempat yang kita pijak sekarang ini, tempat yang kita anggap sebagai rumah ini tidak akan mampu mencukupi kebutuhan kita semua jika jumlah kita terus bertambah secepat sekarang.” Dari dialog tersebut saya menangkap bahwa tempat yang dipijak adalah bumi. Dijelaskan bahwa bumi mampu mencukupi segala kebutuhan manusia namun jika populasi manusia semakin cepat bertambah seperti sekarang, tidaklah akan mampu bumi mencukupi kebutuhan dan keserakahan manusia.
Lalu ketika salah satu dari tetua melarang semua orang menyebutkan nama Tuhan di rumah itu, karena katanya tidak pantas menyebut entitas tertinggi di ruangan mereka berada itu. "Kita hanyalah pesuruh-Nya yang bertugas menjalankan tugas-tugas kita sejak awal rumah ini dibangun." Dari dialog tersebut saya menangkap bahwa kita manusia adalah pesuruh Tuhan untuk mengemban tugas-tugas sejak awal mula alam dan jagat raya ini diciptakan. Namun, kita manusia tidak pantas menyebut nama-Nya di berbagai keegoisan, keserakahan dan kehancuran yang telah kita perbuat.
Lalu ketika tetua agung menyuruh seluruh orang di dalam rumah itu untuk menanggalkan pakaian, menyirami dan memberi pupuk ke pohon serta kembali ke rumah, memeluk anak-anak dan lebih sering memuji Tuhan. Menurut saya, pakaian itu menggambarkan sebagai segala keserakahan, ketamakan, keegoisan, dan sifat buruk manusia. Ditanggalkan dan dikuburkan dengan maksud semua kebiasaan dan hal buruk manusia itu sudah hilang terpendam. Menyirami pohon dan memberi pupuk dengan maksud karena pohon merupakan salah satu peranan yang sangat penting bagi manusia serta dimaksud untuk menjaga dan melestarikan alam. Peluklah anak-anak menggambarkan untuk melindungi generasi kita selanjutnya sehingga mereka di esok hari dapat menikmati indahnya alam dan bumi.
Menilik ke atas mengenai cerutu, saya menangkap bahwa asap dari cerutu itu menggambarkan polusi-polusi yang diciptakan manusia dan cerutu itu merupakan alat yang menciptakan polusi itu. Sedangkan si Tambun Berwajah Jenaka itu, saya agak ragu mengatakannya, mungkinkah ia koruptor atau politikus rakus? Sebab, di bagian ia menolak cerutu dan anggur padahal dahulunya ia sangat menyukainya, ia seperti pelaku tindak kejahatan yang mengakui kesalahannya dan tidak mau mengulanginya lagi.
Ini sedikit opini saya untuk cerpen ini. Jika ingin mengoreksi dan menambahi tulisan saya ini sangat dipersilakan, bisa langsung ketik di kolom komentar ya. Sekali lagi mohon maaf, jika saya melakukan kekeliruan, terima kasih.