Dieta menyapu pandangannya ke arah kursi-kursi yang terpasang di pendestrian pusat kota kelahirannya. Beberapa kursi telah terisi. Gadis itu memfokuskan pandangannya ke salah satu kursi yang terhalau dari sinar matahari, terhalang oleh bangunan lama—peninggalan masa penjajahan. Seorang lelaki dewasa muda menduduki kursi itu, sebelah kanan—sampingnya kosong, masih sangat muat dan luas untuk jika Dieta duduki. Akhirnya gadis itu pun berinisiatif menghampiri lelaki itu. "Hm ... maaf Tuan, bolehkah aku duduk di sini?" tanyanya berharap-harap. Nada bicaranya sedikit ragu mengatakan itu.
Lelaki itu menoleh. "Ya, boleh," jawabnya lugas."Terima kasih." Setelahnya Dieta langsung mendaratkan tubuhnya ke kursi, mengistirahatkan badannya yang lelah—habis menelusuri lorong-lorong rak buku di toko buku langganannya. Tas jinjing yang berisi buku-buku hasil buruannya diletakkan menyender ke kaki kursi—ikut sedikit menyender ke kaki kanannya.
Dieta meraih tas selempangnya, mengambil buku jurnal dan pulpen dari sana. Lalu mencoret berbagai tujuan keinginan yang ia tulis tadi pagi—menandai bahwa tujuannya tersebut telah direalisasikan. Buku-buku incarannya sudah terbeli, stok pulpen berbagai bentuk buah-buahan, sebuah map coklat, pita merah putih—semuanya sudah terbeli. Tinggal dua tujuannya yang belum ia realisasikan: membeli es kopi karamel di perempatan jalan dekat rumahnya dan selamat sentosa sampai rumah.
"Nona, maaf ...." Lelaki di samping Dieta tiba-tiba berujar.
"Ya?" Dieta langsung menegakkan kepalanya.
"Boleh aku menggangumu?"
Pernyataan lelaki itu konstan membuat Dieta terkesiap dan raut mukanya berubah pias. Ia menghentikan gerakan tangannya yang tengah mencoret buku jurnalnya, lalu menatap ragu lelaki itu.
"Maksudku, boleh aku mengganggumu untuk mengajukan sebuah pertanyaan?" ralat lelaki itu cepat menyadari perubahan sikap Dieta.
Tanpa sadar Dieta mengembuskan napas lega. "Oh ya, tentu saja. Ada apa?" balasnya menunjukkan keramahtamahannya sebaik mungkin. Ia tak mau lelaki di sampingnya ini merasa sungkan karena perubahan sikapnya efek keterkejutannya tadi.
Lelaki itu meluruskan pandangannya. Ia menatap trotoar dan kursi-kursi yang terpasang di seberang jalan sana. "Kau tahu pahlawan?" tanyanya seraya menolehkan pandangannya menatap Dieta.
"Ya ... tahu," sahut Dieta sedikit ragu, ia heran dengan pertanyaan lelaki itu. Apakah tengah menguji pengetahuannya? "Bung Karno, Bung Hatta, Ibu Kita Kartini, Ki Hajar Dewantara dan masih banyak lagi."
"Benar sekali, Nona. Mereka pahlawan nasional. Omong-omong aku suka caramu menyebut nama RA Kartini, kebiasaan dari lagu?"
Dieta terkekeh, ia baru menyadari apa yang diucapnya. "Ya, kebiasaan. Aku selalu menyebutnya seperti itu, tanpa sadar," akunya. "Oh ya, mengapa kau menanyakan hal itu, Tuan?"
Lelaki itu menghela napas. "Entahlah. Tiba-tiba saja kepalaku memikirkan itu."
Dieta mengangguk memahami—tak berusaha menuntut lebih penjelasan lelaki di sampingnya.
Hening sepersekian menit, Dieta hendak menulis kembali di buku jurnalnya, namun tiba-tiba laki-laki itu mengajukan pertanyaan lagi. "Menurutmu, siapa lagi pahlawan selain pahlawan nasional?"
Dieta tampak berpikir, matanya melirik langit. "Em ... ibu dan ayahku. Guruku di sekolah dulu," ujarnya.
"Ya tentu. Pahlawan hidup kita." Lelaki itu menjeda ucapannya. "Kadang aku terpikir, apa mungkin jika aku menjadikan benda mati sebagai pahlawan. Bagaimana menurutmu? Mungkinkah?" tanyanya.
"Benda mati seperti apa maksudmu? Arwah?" seloroh Dieta asal. Kepalanya tiba-tiba dipenuhi berbagai dugaan: apakah lelaki di sampingnya ini berniat menjadikan makhluk halus sebagai pahlawannya?
Lelaki itu terkekeh. "Bahkan arwah bukan termasuk benda. Mereka hanya hidup di pikiran orang yang mempercayainya dan mati di pikiran orang yang tak mempercayainya. Dan tidak keduanya di antara orang yang tak memperdulikannya," jelasnya. "Tebakanmu lucu sekali, Nona. Terima kasih, sudah membuatku tertawa sore ini."
"Ini pujian atau hinaan atas praduga asalku?" tukas Deita telak. Mukanya semasam cuka—mengingat kebodohannya sendiri.
Lelaki itu terkesiap. "Tidak, tidak. Aku tidak berniat menghinamu, sungguh. Aku benar-benar berterima kasih," ujarnya panik. "Lagipula setiap orang pasti memiliki persepsi berbeda tentang hal itu dan kau berhak memiliki pendapat sendiri. Aku mohon maaf atas kesalahpahaman ini, Nona ...."
"Sudah lupakan. Tak apa, aku paham maksudmu sekarang. Maaf juga sudah membuatmu panik." Dieta terkikik geli—mengingat raut panik lelaki di sampingnya. "Tapi aku masih bingung benda seperti apa yang kau maksud. Batu?"
"Ya, bisa saja."
"Ha?"
Lelaki itu tersenyum tipis. "Ya ... batu bisa jadi pahlawan seseorang. Kau lihat penjual pedagang kaki lima itu?" Ia menunjuk pedagang nasi goreng di ujung jalan.
Dieta mengangguk.
"Nah, coba bayangkan kalau tali tenda yang pakainya tidak ditahan dengan batu. Apa bisa tendanya itu berdiri tegak dan tidak ambruk jika tertiup angin? Tidak, kan?"
Lagi-lagi Dieta mengangguk, setuju.
"Betapa berjasanya lampu lalu lintas itu, kalau saja ia tidak diciptakan, sudah tak terhitung lagi kecelakaan setiap detiknya. Begitupula dengan bayangan bangunan di belakang kita ini. Kalau ia tak ada, mungkin kursi ini tak ada yang mendudukinya, bahkan kau tak akan meminta izin untuk ikut duduk di sini karena panas."
Dieta mengerjap. "Bagaimana kau tahu tujuanku minta izin untuk ikut duduk di sini?"
"Hanya praduga sederhana dan kau baru saja membenarkannya."
Dieta menghela napas. "Tapi maaf Tuan ... aku sedikit tidak setuju dengan pernyataanmu." Ia menutup buku jurnalnya yang sedari tadi dibiarkan terbuka, lalu memperbaiki duduknya—mulai serius dengan percakapan ini. "Bukannya benda-benda itu memang sengaja diciptakan untuk membantu kehidupan manusia?"
Lelaki itu mengangguk. "Ya ... lampu lalu lintas itu memang iya. Kalau batu? Bayangan? Apa mereka sengaja diciptakan untuk tujuan itu? Apa batu diciptakan untuk menahan tenda pedagang kaki lima agar tidak ambruk? Apa bangunan lama ini diciptakan untuk melindungi kursi yang kita duduki dari sinar matahari?"
Dieta menggeleng. "Tidak," cicitnya lirih.
"Aku tak bermaksud menyudutkan, Nona. Maksud dari pernyataanku ini, bukan karena aku ingin manusia menjunjung benda-benda mati itu layaknya pahlawan. Aku hanya ingin mereka menghargai hal-hal kecil di sekitarnya seperti menghargai pahlawan—ya bukan dalam artian berlebihan—menghargai bahwa benda-benda itu bukan sekadar benda mati, banyak guna yang terkandung di antaranya. Banyak jasa yang telah diberikan jika kita sadar dan membuka mata."
Dieta terdiam—meresapi untaian kata lelaki di sampingnya itu. Hening menyeruak.
"Ah ... sepertinya sesi berbincang kita akan berakhir, Nona," ujar Lelaki itu tiba-tiba seraya memandang ke arah halte. "Bus tujuanku sudah datang. Terima kasih atas kesediaanmu mendengarkan ocehanku ini dan maaf atas ketidaksopanan dan kelancanganku mengganggumu." Sebelum beranjak lelaki itu menatap sekilas Dieta lalu tersenyum ke arahnya.
Dieta balas tersenyum. Ia menatap nanar kepergian lelaki itu—rasa kehilangan seorang teman bercerita membuncah dalam hati. "Terima kasih juga kau bersedia berbagi percakapan bermakna ini denganku. Semoga kita bertemu lagi," ucapnya lirih. Dieta kembali membuka buku jurnalnya. Ia membuka lembaran baru, menulis sebaris kalimat di sana.
Esensi buka mata bukan hanya semata-mata tentang hal 'wah', malah sepatutnya untuk menyadari hal kecil dan remeh di sekitar, karena bukan tanpa guna mereka diciptakan dan bukanpula tak bisa manusia menyadarinya.
Menyadari hal kecil?
BalasHapusIya, kadang hal kecil dapat merubah sesuatu yang dianggap besar.
Setuju sekali Bu🙌
HapusKereen cerpennya. Saya jadi ingat, beberapa kali ngobrol dengan orang asing dan malah dapet insight.
BalasHapusTerima Kasih Kak🙌
HapusDitunggu lagi cerpennya. Aku syukaaa..
BalasHapusSiap, terima kasih🙌
HapusSukaaaaa cerpennya
BalasHapusIde yang tidak biasa
Tapi jadi pencerahan
Makasih ya
Terima kasih kembali Bun🙌
HapusDitunggu tulisan2 berikutnya 😍
BalasHapusSiap Kak🙌
Hapus