Cerpen: Exelin "Bagian 1"

Feffi

 

Cerpen: Exelin 


1. Exelin ... kisahmu mencabik jiwa


    Sebuah bingkai foto dengan foto wanita tua bertengger di atas nakas lemari putih yang berada di tengah ruangan—mendominasi pemandangan. Di sampingnya juga terdapat bingkai dengan ukuran yang sama dengan foto anak perempuan yang berumur tak lebih 7 tahun yang gambarnya mulai memudar, raut ekspresi lucunya tak lagi kentara terlihat. Sedangkan di depan kedua bingkai itu terdapat lentera kecil dan bunga-bunga segar—yang rutin diganti. 

    Exelin memandangi bingkai-bingkai itu dengan mata berkilat marah. "Sudah mati tetap saja menyusahkan!" gumamnya pelan. 

    "Apa yang tengah kau lakukan Exelin?" Suara serak dan tertatih terdengar—menginterupsi Exelin yang sedang memandangi kedua bingkai foto itu. 

    Exelin terkesiap. Ia menoleh dan mendapati sang kakek di dekat pilar dekat lorong yang menghubungkan dengan ruang belakang. "Sedang mendoakan mereka Kek," kilahnya lalu menyalakan lentera kecil dengan korek api yang tak jauh dari bingkai foto itu. Setelahnya ia mengambil beberapa bunga segar dan membawanya ke dekapan. 

    Kakek mendekat—menghampiri cucunya—dan menatap bingkai-bingkai itu sendu. "Andai Azalin masih hidup, pasti ia sekarang sebesar dirimu ...." Kakek ikut melakukan apa yang dilakukan Exelin: mengambil beberapa bunga segar lalu dibawanya ke dekapan. Ia memejamkan mata dan merapalkan doa dalam hati penuh hikmat. 

    Exelin ikut memejamkan matanya. "Mati saja menyusahkan, apalagi hidup!" sungutnya dalam hati. Ia tak merapalkan doa seperti yang dilakukan sang kakek melainkan merapalkan umpatan makian penuh kekesalan untuk dua orang yang ada di bingkai-bingkai itu. 

    Ritual berdoa kakek selesai, lelaki tua itu meletakkan bunga yang dipegangnya di wadah hitam yang bersebelahan dengan wadah putih yang berisi bunga-bunga segar yang belum digunakan untuk berdoa. Kakek memandang Exelin—yang masih memejamkan mata—lekat, lalu tersenyum bangga dan haru melihat cucunya itu. "Dia gadis tangguh dan baik, Tuhan. Jagalah dia," gumamnya pelan. 

    Mendengar gumaman tak jelas sang kakek, Exelin langsung membuka mata. "Ada apa Kek?" tanyanya penasaran. 

    "Tak apa. Sudah selesai berdoamu?" 

    "Sudah," jawabnya seraya meletakkan bunga yang dipegangnya ke wadah hitam yang telah berisi bunga bekas berdoa sang kakek, lalu ia meniup padam api di lentera. 

    "Pukul 2 nanti kita pergi ke rumah sakit jiwa. Ayahmu yang akan mengantarkan kita." 

    Ucapan kakek terlalu tiba-tiba, hingga membuat Exelin terkejut bukan kepalang. Ia menatap lekat kakeknya, tatapan kurang lebih berarti: haruskah kita pergi ke sana?

    Kakek mengerti arti pandangan cucunya, namun ia tak mau menanggapi ketidakmauan Exelin yang alih-alih diperlihatkan sebagai keterkejutannya. "Bersiap-siaplah." Karena ia tahu sang cucu tidak akan menolak.

    Exelin tak kuasa membantah. "Baiklah," jawabnya pasrah. 


ꈨຶꈨຶꈨຶꈨຶꈨຶ


    "Kenapa lesu sekali anak Ayah?" tanya ayah merangkul anak gadisnya erat. "Tak mau pergi ke rumah sakit jiwa?" 

    Exelin mendesah dan menggeleng pelan. "Bukan begitu Ayah ...." Ia menghela napas. " ... aku hanya takut," ujarnya lirih. 

    "Ada ayah dan kakek. Tak usah cemas. Semuanya akan baik." 

    Exelin mengangguk lemah, berusaha memercayai apa yang dikatakan sang ayah. 


ꈨຶꈨຶꈨຶꈨຶꈨຶ


    Exelin menatap bangkar di rumah sakit jiwa itu dengan tatapan terluka. Teramat sangat. Namun, rasa sayang juga membelenggunya kuat. Ibunya terbaring lemah di sana. Efek suntikan obat bius yang disuntikkan sekitar 10 menit yang lalu. 

    "Keadaan nyonya Aiko kian membaik setiap harinya. Beberapa hari ini ia mulai menyebut nama Exelin berulang kali. Namun rencana-rencana gilanya masih membahayakan." Psikiater itu menjelaskan semuanya sekilas. Namun Exelin paham secara rinci apa yang dijelaskannya. Ibunya mulai mengingatnya, sebagai anak bukan musuh—itu terdengar baik. Namun rencana berbahayanya masih terdengar buruk—ibunya masih bertekad untuk mencelakainya, untuk menyakitinya.

    Kesadaran perlahan ingatan sang ibu tentang dirinya tak membuat tingkat kewaspadaannya berangsur tenang. Lagi-lagi karena hal ini, kisah itu mulai menggelayuti pikirannya, mendobrak, menayangkan kilasan luka lama itu kembali.


ꈨຶꈨຶꈨຶꈨຶꈨຶ


Bersambung ....


(Bagian 2)

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)