2. Exelin ... tenang
Rumah tengah ramai dengan para pelayat. Auranya muram sekali. Exelin sesekali ikut terisak melihat kedua orangtuanya dan sang kakek terisak. Dua peti berada di depannya, yang ia tahu di dalamnya terisi sang nenek dan kembarannya, Azalin. Di umurnya yang masih belia, masih menginjak 7 tahun Exelin hanya tahu bahwa kedua orang itu meninggalkan dunia untuk selamanya, mereka takkan hidup lagi. Ia tak tahu alasan apa yang membuat sang nenek dan kembarannya meninggal, apakah terserang penyakit? Atau karena yang lainnya? Ia juga tak mengerti mengapa keduanya bisa meninggal di waktu bersamaan?
Ibunya meraung sejadi-jadinya, beberapa kali pingsan-sadar menyaksikan kedua peti dimasukkan ke dalam liang lahat yang sama. Exelin digendong kakek, ia membenamkan kepalanya di bahu sang kakek, menyembunyikan penglihatan dengan suasana kuburan. Walaupun jumlah pelayat yang ikut ke sana ramai, tapi tak mengurangi rasa ketakutan yang dimilikinya. "Kakek, Exelin mau pulang." Berulang kali ia membisikkan itu di telinga sang kakek. Sang kakek hanya membalas dengan usapan di punggung kecil Exelin—sedikit menenangkan cucunya—dengan sesekali rembesan air mata keluar membasahi pipinya menatap peti sang istri dan cucunya ditimbun dengan tanah.
ꈨຶꈨຶꈨຶꈨຶꈨຶ
Acara pemakaman selesai. Para pelayat pulang ke rumah masing-masing. Exelin berdiri di depan kamar kedua orangtuanya, menatap nanar pintu di hadapannya. Sepulang dari kuburan, orangtuanya langsung mengasingkan diri ke kamar, tak memedulikan karabat yang datang. Hanya kakek yang menemani para tamu itu hingga pulang.
"Bu ... Yah ... Exelin mau masuk," ujarnya lirih seraya mengetuk pintu perlahan. "Exelin takut ...." Ia menempelkan dahinya ke bidang pintu—tak khawatir jika pintu tiba-tiba terbuka dan ia terhuyung jatuh. Kakek menghampirinya, lalu menggedong tubuh kecilnya membawa menjauhi kamar itu.
ꈨຶꈨຶꈨຶꈨຶꈨຶ
3 bulan sudah berlalu sejak hari pemakaman itu. Keadaan ibu sudah lebih baik, ia tidak lagi menangis histeris secara tiba-tiba. Dan hari ini, ibu berencana membawa Exelin pergi ke luar kota untuk memulai hidup berdua dengan anaknya yang kini menjadi anak tunggalnya. Entah apa tujuan ibu, tapi alasan yang diberikan kepada ayah dan kakek cukup logis, sehingga mereka mengizinkannya hidup berdua selama 3 bulan di kota lain bersama Exelin seorang diri. Alasannya sebagai pemulihan atas kehilangan Azalin dan membangun emosi lebih dekat dengan Exelin.
Exelin menatap rumah sewaan sementara yang akan ditinggalinya dengan sang ibu dengan mata berbinar. Rumahnya terlihat nyaman dan cukup luas—walaupun tak seluas rumah aslinya.
Ayah mencium pucuk kepalanya sebagai tanda perpisahan meninggalkannya dengan sang ibu sampai tiga bulan mendatang. "Ayah akan sangat merindukanmu. 3 bulan lagi kita bertemu, nikmati waktu bersama ibu ya." Exelin balas memeluk ayah erat.
Minggu pertama berjalan sempurna. Ibu sering mengajaknya ke pendestrian kota itu, memburu berbagai macam kuliner yang dijual pedagang kaki lima di sana. Minggu kedua, gelagat ibu mulai aneh. Ia melamar pekerjaan paruh waktu di salah satu toko kue dan meninggalkan Exelin seorang diri di rumah yang masih terasa asing bagi gadis kecil itu. Sepulang kerja, kala matahari senja mulai terbenam, ibu membawa sekotak kecil kue yang berisi bermacam-macam rasa. Exelin menerimanya penuh kesenangan. Ia mengambil asal kue itu lalu menggigitnya perlahan guna melihat isiannya lumer keluar. Seketika ia terperanjat, langsung membuang dan memuntahkan sisa kue di mulutnya. "Ibu isinya cicak!" jeritnya menangis bercampur takut dan jijik.
ꈨຶꈨຶꈨຶꈨຶꈨຶ
Bersambung ....
(Bagian 1)
Bagus kak..👍👍
BalasHapusTerima kasih kak🙌🏻
Hapus