Cerpen: Seusia Mereka

Feffi

Di tribun lapangan bola kaki, aku melihat dua anak keciltetanggakutengah duduk-duduk sambil bercerita riang. Senang aku melihatnya, melihat gerak tangan mereka memperagakan dan mengisahkan cerita mereka dengan semangat. Aku berjalan mendekat, menghampiri mereka, tak ada niat dan tujuan spesifik sebenarnya, hanya ingin mendekat saja. 

Aku mengambil duduk dengan jarak dekat, namun tak terlalu mepet. Mereka melihatku sekilas, tapi tak berucap apa-apa. Aku hanya mengulum senyum lalu mengambil ponselku dari saku, seakan memberi tahu mereka bahwa aku tak akan mengusik kegiatan mereka, aku sibuk dengan urusanku sendiri. Kegiatanku mencari alasan percuma saja, mereka dari awal tak peduli, tak penasaran mengapa aku menghampiri ke sini. Bersikap biasa seakan aku tak ada. "Tumben kalian gak main," celetukku. Aku menaruh kembali ponselku ke saku. 

Mereka kompak menoleh. "Baru selesai." Salah satunya menyahut. 

"Capek," satunya ikut mengimbuhi. 

Aku ber-oh-ria panjang. Sepasang sandal japit kulepas, membiarkan telapak kakiku menyentuh langsung rerumputan, membiarkan sensasi dingin menjalar ke permukaan telapak kakiku. Dua buah ponsel tergeletak tak jauh dari kaki mereka. Itu pasti ponsel-ponsel mereka. Sembari menikmati sensasi dinginnya rerumputan, kupingku mencuri-curi dengar cerita mereka. Bercerita tentang game yang sama sekali tak kuketahui, menceritakan tugas sekolah masing-masing, lalu tentang kenaikan kelas keduanya yang sebentar lagi akan menginjak kelas 4 SD. 

"Kakak ngapain di sini?" tiba-tiba satu dari mereka menanyaiku. Mulai menyadari keberadaanku yang agaknya menganggu ketenangan bercerita mereka.

"Pengin main aja," jawabku sekenanya. 

"Main sama kita?" 

Aku mengangguk. 

"Kenapa nggak main sama teman kakak sendiri? Kan asik udah gede bisa pergi ke mana-mana." 

"Iya bisa pergi ke mana-mana, tapi nggak bisa main lari-larian kayak kalian, main petak umpet, main sepak bola. Nggak asik." 

"Tapi kan sering jalan-jalan. Asik dong," sahut yang satu lagi. 

"Ngabisin duit yang pasti." 

"Kita juga ngahabisin duit kok. Beli jajan, beli es krim, beli mainan, layangan." 

"Sama aja berarti, gak beda jauh," timpalku. "Eh, ini kalian main game online ya?" Aku memandang dua ponsel di dekat kakiku itu. Lalu mereka melakukan hal sama, ikut memandangnya. 

"Iya," jawab mereka kompak. 

"Tahu gamenya dari mana?" tanyaku penasaran. Aku yakin anak kecil seumur mereka tidak akan tahu game online seperti itu jika tidak direkomendasikan oleh seseorang. 

"Temen," jawab mereka jujur. Aku tahu pasti mereka tengah jujur. 

"Dibolehin sama mama papa?" 

"Boleh." 

Aku kembali ber-oh-ria. Tidak bertanya lebih, takut mereka tidak nyaman dengan pertanyaanku. 

"Kakak main game online juga?" 

"Main. Tapi bukan game perang-perangan."

"Sering mainnya?" 

"Gak sering, cuma sesekali main kalau lagi bosen." 

"Bosen kenapa?" 

"Kalau lagi bosen sama kehidupan."

"Ha?" Mereka kompak kebingungan.

Aku terkekeh. "Kalian masih kecil. Besok kalau dah gede, kalian paham kok," jelasku. 

"Kita nggak bakal bosen sama hidup Kak!" kata mereka sungguh-sungguh. 

"Kakak aminin paling kenceng," sahutku juga sungguh-sunguh. Lalu aku terdiam. Membiarkan mereka kembali berceloteh. Aku hanyut ke dalam pikiran seraya meresapi sensasi dinginnya rumput lagi. Enak ya, seusia mereka tidak perlu terbebani dengan yang namanya hidup dan masalahnya. Pasti saat aku seusia mereka aku juga begitu, tak pernah khawatir dengan hidup. Ah ... kenapa aku malah rindu menjadi diri lamaku?

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)