Pengalaman Tapak Tilas di Bukit Dua Belas

Feffi

 


Tahun 2019 lalu, saya dan teman-teman anggota organisasi praja muda karana (pramuka) sekolah berkesempatan untuk menapak tilas di Bukit Dua Belas. Tapak tilas merupakan kegiatan meninggalkan bekas kaki atau bekas jejak di suatu tempat sebagai pertanda pernah berbuat sesuatu di tempat itu. Kata tapak tilas sendiri berasal dari bahasa jawa yaitu kata tapak yang artinya bekas kaki atau bekas jejak dan tilas yang artinya bekas dari seseorang. 


Bukit Dua Belas sendiri terletak di kabupaten Sarolangun, provinsi Jambi. Dan saat itu kami harus menempuh kurang lebih 5 jam perjalanan dengan menggunakan truk untuk sampai di sana karena berbeda kabupaten dengan sekolah kami dan jaraknya yang juga jauh. Serta ini merupakan pengalaman pertama kalinya saya pergi ke Bukit Dua Belas.

Tujuan kami pergi ke sana yaitu untuk mendampingi adik kelas (angkatan satu tingkat di bawah saya) yang sesama anggota pramuka untuk melaksanakan salah satu program pramuka di sekolah kami setiap tahunnya yaitu tapak tilas. Dan lokasi tujuan tapak tilas untuk angkatan tersebut adalah ke Bukit Dua Belas. Sedangkan angkatan saya kala itu menapak tilas yang lokasinya tidak jauh dari sekitar sekolah dan harus berjalan kaki sekitar 30 km lebih. 

Selama perjalanan, kami bersama-sama saling berdempetan dan berdesakkan di atas truk, menikmati perjalanan sambil bercerita serta saling membaur. Dan ketika perjalanan itu, tak sedikit pula adik kelas dan teman seangkatan saya yang mabuk perjalanan. Di sinilah tugas kami, angkatan terdahulu untuk menjaga dan membantu yang lain jika terjadi sesuatu. 

Sesampai di sana, di lereng bukit kami beristirahat sebentar. Untuk makan dan mengistirahatkan tubuh karena letih di perjalanan. Setelah beristirahat, kami mulai berjalan kaki menuju puncak Bukit Dua Belas. 

Sebenarnya untuk angkatan saya boleh membawa motor karena kami sudah pernah menjalani kegiatan tapak tilas dan tujuan kami sekarang hanyalah untuk mendampingi adik-adik kelas. Namun, saya dan beberapa teman saya memutuskan untuk tidak membawa motor dan ikut bersama naik truk. Di sana pun saya juga ikut berjalan kaki dari awal hingga sampai turun dari bukit. Rasanya dua kali mengikuti tapak tilas. 

Di sepanjang perjalanan menuju puncak bukit, pemandangan yang saya lihat hanyanya pohon sawit. Betapa sedihnya saya, tujuan hati ingin memanjakan mata dengan melihat pemandangan pohon-pohon dan hutan alami, malah hamparan pohon sawit yang tersedia. 

Alih fungsi hutan ini sangatlah menyedihkan. Apalagi Bukit Dua Belas ini merupakan kawasan dan rumah dari suku anak dalam. Dan hutan di sana merupakan tempat bergantung hidup mereka. Serta di perjalanan menuju ke atas puncak kami pun menemui suku anak dalam atau orang rimba dengan rumah-rumah sederhana mereka yang hanya diatapi terpal di antara pepohonan sawit. 



Ketika sampai di puncak Bukit Dua Belas, begitupula pemandangan yang kami dapatkan, beberapa spot foto yang memang sengaja dibuat warga setempat, stan penjual makanan/minuman, dan ... hamparan pohon sawit di sejauh mata memandang. Jujur, saya tidak menikmati pemandangan yang ada di sana. Apa mungkin karena efek kelelahan berjalan kaki dari lereng hingga menuju puncak bukit?


Turun dari bukit, saya baru merasakan sensasi alam di sana, walaupun masih dikelilingi pohon sawit namun hawa dan suhunya lebih teduh dibanding di atas tadi. Beberapa parit-parit besar di sekeliling, sungai-sungai kecil, dan kalau tidak salah ingat ada pematang sawah di sana. Perjalanan turun ini lebih bisa mengobati kelelahan saya berjalan kaki. Suasananya lebih asri. Rute jalan untuk turun berbeda dengan rute untuk menuju puncak.

Kami memulai perjalanan menuju rumah ketika waktu sudah menjelang petang sekitar pukul 17.30 sore, kami mulai menaiki truk lagi dan juga berdesak-desakkan lagi. Beberapa teman saya ada yang ikut menebeng teman lain yang membawa motor. 

Kami harus kembali berada di truk selama 5 jam dan sekitar jam 9 malam, mobil truk yang kami tumpangi bannya meletus. Kami turun dari truk, duduk di pinggir jalan dengan remang-remang cahaya malam, padahal seharusnya tinggal 1 jam perjalanan lagi kami sampai di sekolah.

Setelah 15 menitan duduk-duduk di sana, lalu kami memutuskan untuk menuju ke salah satu rumah yang ada di dekat sana, untuk menumpang ke kamar mandi. Dan keberuntungan tidak berpihak kepada saya waktu itu, ponsel saya mati total karena kehabisan baterai, keadaan sudah malam dan pastilah orangtua saya cemas di rumah. Dan benar saja, ketika saya menelpon ibu saya dengan meminjam ponsel guru, ibu saya bilang ia sudah menelpon beberapa guru saya yang lain yang dikenalnya. Oh iya, ketika melakukan tapak tilas itu kami juga didampingi guru ya. 

Saya dan salah satu teman saya ketika itu juga sempat terlelap 5 menit di depan rumah orang yang kami tumpangi kamar mandinya sambil menunggu jemputan datang. Guru kami yang kebetulan rumahnya dekat dengan daerah itu datang menjemput membawa mobil serta truk yang kami tumpangi juga bannya sudah diperbaiki. Alhasil saya dan teman saya menaiki mobil guru kami, meskipun tetap sama, mobil bak terbuka tapi rasanya lebih lapang sehingga kami tidak perlu berdempetan dan bisa meluruskan kaki. 

Sampai di sekolah jam 11 malam, bapak saya sudah menunggu di sana juga dengan orangtua teman-teman saya yang lain, ramai sekali malam itu di sekolah kami. Lalu setelah dicek semuanya lengkap dan aman kami pulang ke rumah masing-masing. 

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)